Notifications
Clear all

Diskusi Lanjutan: Jawaban atas Pertanyaan dari Peserta pada Webinar Nasional: Pembangunan PLTN Ditinjau dari Aspek Keselamatan, Keamanan, & Kesiapan SDM

1 Posts
1 Users
0 Reactions
3 Views
(@hostwebinar)
Posts: 1
New Member
Topic starter
 

Diskusi Lanjutan: Jawaban atas Pertanyaan dari Peserta pada Webinar Nasional: Pembangunan PLTN Ditinjau dari Aspek Keselamatan, Keamanan, & Kesiapan SDM

Global Transport, Training, and Trading Indonesia (GTI) bersama Badan Kejuruan Teknik Nuklir – Persatuan Insinyur Indonesia (BKTN-PII) telah sukses menyelenggarakan webinar nasional bertajuk “Pembangunan PLTN Ditinjau dari Aspek Keselamatan, Keamanan, & Kesiapan SDM”. Kegiatan ini menarik antusiasme luas dari peserta lintas sektor, termasuk akademisi, praktisi industri, mahasiswa, peneliti, dan perwakilan dari berbagai lembaga pemerintah serta swasta.

Diskusi yang berlangsung sangat dinamis, memperlihatkan tingginya perhatian terhadap isu-isu strategis dalam pengembangan energi nuklir di Indonesia. Berbagai pertanyaan kritis dan konstruktif diajukan oleh para peserta, mencerminkan keragaman perspektif dan kepedulian terhadap masa depan ketenaganukliran nasional. Namun, karena keterbatasan waktu, tidak semua pertanyaan sempat dijawab secara langsung dalam sesi webinar.

Berikut ini adalah rangkuman lengkap jawaban dari para narasumber yang dibantu oleh tim GTI dan BKTN-PII terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama webinar berlangsung.

 

Waluyo Nugroho Harjowinoto

Izin bertanya, meskipun jumlah korban langsung dari insiden Chernobyl sekitar 70 orang, berapa banyak orang yang terdampak secara tidak langsung? Selain itu, seberapa luas wilayah yang menjadi tidak dapat digunakan, dan untuk berapa lama kondisi ini akan berlangsung? Menurut saya, aspek-aspek inilah yang perlu menjadi perhatian dalam upaya pengamanan. Terima kasih.

 

Jawaban:

 

Pertanyaan tersebut hingga kini masih menjadi bahan perdebatan di kalangan para pakar nuklir. Hal ini disebabkan karena jawabannya sangat bergantung pada standar keselamatan radiasi yang diterapkan di masing-masing negara atau wilayah. Sebagai contoh, saat ini sedang dilakukan penelitian mengenai dampak kecelakaan PLTN Chernobyl dan Fukushima terhadap hewan piaraan maupun hewan liar yang tidak sempat dievakuasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak paparan radiasi jangka panjang terhadap kondisi fisik dan kesehatan hewan-hewan tersebut setelah puluhan tahun. Namun, hasil penelitian tersebut belum final dan belum terdapat kesimpulan yang disepakati bersama, sehingga perdebatan di kalangan para ahli masih terus berlangsung.

 

Oleh karena itu, perbandingan yang dapat dilakukan secara lebih objektif adalah pada dampak langsung, seperti jumlah kematian yang terjadi segera setelah kecelakaan maupun dalam jangka waktu beberapa dekade setelahnya. Sebagai referensi, angka kematian akibat paparan radiasi di Chernobyl tercatat sebanyak sekitar 70 orang dalam kurun waktu 30 tahun pascakejadian. Sementara itu, hingga 15 tahun pascakecelakaan di Fukushima, tidak ada kematian yang secara langsung disebabkan oleh radiasi. (Arnold)

 

Waluyo Nugroho Harjowinoto

Selamat siang, Bapak Khoirul Huda.
Terima kasih atas paparan mengenai kebutuhan SDM Teknik Nuklir dalam rangka persiapan pembangunan PLTN di Indonesia. Saya sangat setuju bahwa hal ini perlu dipersiapkan jauh-jauh hari, termasuk melalui transfer teknologi (technology transfer) sejak dini.

Yang juga penting adalah adanya program magang langsung di PLTN luar negeri—misalnya di Jepang, India, Tiongkok, Rusia, atau Amerika Serikat—bukan hanya pembelajaran teori semata. Apakah sudah ada upaya konkret kerja sama seperti ini, atau negara mana saja yang terbuka untuk program Training of Trainers (ToT) bagi Indonesia?

Salam sukses,
Wassalam.

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan dan masukannya yang sangat baik, Bapak Waluyo.

Memang benar bahwa pengembangan SDM nuklir tidak cukup hanya dengan teori, namun harus disertai dengan pengalaman praktis langsung, baik melalui magang, pelatihan teknis, maupun program On-the-Job Training (OJT) di fasilitas PLTN yang sudah beroperasi.

Selama ini, Indonesia telah aktif menjalin kerja sama dengan berbagai negara dalam pengembangan SDM nuklir, antara lain:

  • Jepang: Memberikan pelatihan keselamatan dan regulasi PLTN selama 3 bulan kepada pengawas Indonesia
  • Korea Selatan, Amerika Serikat, Rusia, dan Kanada: Menjadi mitra kerja sama pelatihan dan pendidikan
  • Amerika Serikat: Bahkan pernah melibatkan beberapa ahli Indonesia dalam proses desain PLTN AP600

Selain itu, banyak putra-putri Indonesia telah mengikuti berbagai program pelatihan nuklir di luar negeri, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah negara mitra, lembaga internasional seperti IAEA, maupun melalui kerja sama antar-perguruan tinggi dan lembaga riset.

Dengan dukungan dan komitmen yang kuat, peluang penguatan SDM nuklir Indonesia akan terus terbuka, dan program magang internasional akan menjadi bagian penting dari strategi pembangunan kapasitas nasional di bidang nuklir.
(Penjelasan oleh Dr. Ir. Khoirul Huda)

Tulus Ruseno

Saya bukan ahli di bidang nuklir, namun mohon izin untuk bertanya beberapa hal terkait dengan kendala pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi tantangan, yaitu:

  • Risiko Geologis dan Lokasi: Indonesia berada di kawasan Cincin Api Pasifik yang rawan gempa bumi dan aktivitas vulkanik, seperti halnya yang terjadi di Fukushima, Jepang.
  • Biaya Pembangunan dan Operasional: Pembangunan PLTN memerlukan biaya investasi yang besar, dan mungkin biaya operasionalnya juga relatif tinggi dibandingkan pembangkit jenis lain.
  • Keterbatasan Teknologi dan Ketergantungan Asing: Indonesia belum memiliki teknologi nuklir yang matang untuk membangun PLTN secara mandiri. Meskipun kita memiliki BATAN yang cukup berpengalaman mengoperasikan reaktor riset, sejauh ini kita belum pernah menghasilkan listrik dari teknologi nuklir.
  • Penolakan Masyarakat (NIMBY Syndrome): Bagaimana strategi untuk mengatasi sikap "Not In My Backyard" dari masyarakat?
  • Pengelolaan Limbah Radioaktif: Apakah limbah nuklir memiliki waktu paruh yang panjang, dan apakah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan kajian terhadap hal ini?
  • Regulasi dan Persiapan Organisasi: Syukurlah regulasi dan lembaga terkait sudah mulai terbentuk.

Salam semangat terus, semoga energi nuklir dapat menjadi bagian penting dalam bauran energi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060.

Jawaban:

  • Sebelum menentukan lokasi PLTN, calon pemilik fasilitas wajib memastikan bahwa tapak yang diusulkan memenuhi persyaratan keselamatan dari berbagai aspek, seperti geologi, geoteknik, hidrologi, meteorologi, serta potensi bahaya eksternal seperti gempa bumi dan aktivitas vulkanik. Selain itu, aspek risiko akibat ulah manusia serta dampak terhadap lingkungan hidup juga harus dievaluasi secara menyeluruh. Hal ini merupakan kewajiban yang diatur oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), yang akan melakukan evaluasi dan penilaian ketat sebelum menerbitkan izin tapak.
  • Memang benar bahwa biaya pembangunan PLTN tergolong tinggi jika dibandingkan dengan pembangkit jenis lain. Namun demikian, biaya operasionalnya justru relatif rendah. Hal ini karena bahan bakar nuklir memiliki harga yang kompetitif, sementara kapasitas pembangkitan energinya sangat besar dalam setiap siklus bahan bakar.
  • Perlu diketahui bahwa hampir semua negara pengguna PLTN pada awalnya membangun fasilitasnya dengan teknologi dari luar negeri, termasuk negara-negara yang kini menjadi produsen reaktor seperti Korea Selatan dan Tiongkok. Dengan strategi penguasaan teknologi yang tepat, negara-negara tersebut berhasil mengembangkan kemampuan sendiri, bahkan hingga mampu mengekspor desain reaktor. Indonesia sendiri telah berhasil membangun dan mengoperasikan tiga reaktor riset serta memiliki dua desain reaktor daya buatan dalam negeri, meskipun belum direalisasikan dalam bentuk PLTN. Ini merupakan modal penting untuk masa depan Indonesia sebagai negara pengembang dan mungkin suatu saat sebagai negara vendor PLTN.
  • Terkait sindrom Not In My Backyard (NIMBY), pendekatan edukatif menjadi kunci. Pemerintah dan pihak terkait perlu memberikan informasi yang transparan kepada masyarakat mengenai desain keselamatan reaktor, manfaat serta risikonya, prosedur evakuasi jika terjadi keadaan darurat, hingga mekanisme kompensasi terhadap dampak paparan radiasi. Edukasi yang efektif akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap teknologi ini.
  • Dalam hal pengelolaan limbah radioaktif, teknologi yang tersedia saat ini sudah sangat mapan. Indonesia melalui BATAN (kini BRIN) memiliki pengalaman panjang dalam menangani limbah radioaktif dari berbagai sumber, termasuk tiga reaktor riset dan fasilitas radiasi lainnya. Teknologi pengolahan dan penyimpanan limbah juga telah dikembangkan dan digunakan secara bertanggung jawab.
  • Regulasi terkait nuklir di Indonesia telah ada sejak lama. Badan pengawas independen, yaitu BAPETEN, dibentuk pada tahun 1998. Bahkan sebelum itu, pemanfaatan tenaga nuklir telah diawasi oleh lembaga pemerintah sejak tahun 1958 melalui Lembaga Tenaga Atom (LTA), yang kemudian menjadi BATAN sebelum akhirnya bergabung ke dalam BRIN. Dengan kesiapan regulasi, pengalaman teknis, dan komitmen terhadap keselamatan, energi nuklir dapat menjadi opsi strategis untuk mendukung pencapaian target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060. (Khoirul Huda)

 

Tulus Ruseno

Mohon izin menyampaikan masukan kepada Bapak Pemateri kedua, khususnya terkait strategi persiapan sumber daya manusia (SDM) untuk operasional dan pemeliharaan PLTN.

Saya ingin menyarankan agar pelatihan difokuskan secara bertahap sebagai berikut:

  1. Pelatihan bagi Pengawas Harian dan Auditor, yang terlibat langsung dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan PLTN
  2. Pelatihan bagi calon operator dan tenaga teknik yang bertanggung jawab atas perawatan sistem
  3. Pelatihan bagi pengawas keselamatan ketenagalistrikan (K2 dan K3)
  4. Apakah saat ini sudah tersedia Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan (SKTTK) yang dapat dijadikan acuan dalam menyusun materi pelatihan dan modul-modul On the Job Training (OJT) PLTN?

Jawaban:

Terima kasih atas masukan yang sangat konstruktif, Bapak Tulus Ruseno.

Usulan Bapak mengenai prioritas pelatihan memang sangat relevan dan tepat. Strategi pelatihan SDM untuk PLTN memang sebaiknya dilakukan secara bertahap dan terstruktur, dimulai dari:

  1. Pelatihan bagi Pengawas Harian dan Auditor
  2. Pelatihan bagi calon operator dan tenaga teknik yang akan bertugas dalam pengoperasian dan pemeliharaan sistem
  3. Pelatihan bagi tenaga pengawas keselamatan, khususnya yang terkait Keselamatan Ketenagalistrikan (K2 dan K3)

Terkait Standar Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan (SKTTK), saat ini Indonesia telah memiliki acuan resmi, yaitu:
Peraturan Menteri ESDM No. 6 Tahun 2021 tentang Standardisasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan, yang dapat dijadikan pedoman dasar dalam merancang pelatihan tenaga teknik untuk sektor ketenagalistrikan, termasuk untuk kebutuhan PLTN.

Sementara itu, materi pelatihan dan modul-modul OJT (On the Job Training) akan disusun berdasarkan kebutuhan spesifik proyek PLTN yang akan dijalankan. Penyusunan ini akan mempertimbangkan jenis teknologi reaktor yang digunakan, sistem keselamatan yang diterapkan, dan standar internasional yang berlaku, termasuk referensi dari IAEA.

(Penjelasan oleh Dr. Ir. Khoirul Huda)

 

Bawa Santosa

Kepada Dr. Arnold, saya ingin bertanya: Siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan PLTN di Indonesia? Apakah ada pihak yang bertanggung jawab secara penuh, baik dalam hal biaya teknis, sosial, dan lingkungan, termasuk dalam proses pemulihan pascakejadian? Terima kasih.

Jawaban:

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, tanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh kecelakaan nuklir sepenuhnya berada di tangan pengusaha atau pemilik instalasi nuklir. Ini mencakup kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada pihak ketiga yang terdampak oleh kecelakaan tersebut. Namun, tanggung jawab ini dikecualikan jika kecelakaan terjadi akibat faktor eksternal di luar kendali, seperti konflik bersenjata. (Arie Widowati)

Sebagai tambahan, pemilik atau pengelola PLTN diharapkan memiliki mekanisme pembiayaan yang siap digunakan untuk menanggulangi kerugian akibat kecelakaan, misalnya melalui:

  • Sistem asuransi kecelakaan nuklir, atau
  • Pembayaran dana tanggungan kecelakaan kepada pemerintah, yang dihimpun secara bertahap dari pendapatan penjualan listrik.

Sebagai ilustrasi, jika terdapat skema dana tanggungan sebesar 0,5 sen dolar AS (USD) per kilowatt-jam (kWh), maka untuk satu unit PLTN berkapasitas 1.000 MWe dengan kapasitas faktor (CF) sebesar 90% dan masa operasi 60 tahun, akan terkumpul dana sekitar 2,4 miliar USD, atau setara dengan Rp39 triliun (dengan kurs Rp16.500/USD). Dana ini dinilai cukup untuk menanggulangi dampak dari satu kecelakaan besar, asalkan dikelola secara tepat—baik melalui skema asuransi jangka panjang maupun pengumpulan dana khusus selama masa operasional PLTN tersebut. (Arnold)

 

Bawa Santosa

Kepada Dr. Arnold, dalam presentasi dijelaskan bahwa PLTN tipe PWR memiliki cara kerja yang mirip dengan PLTU berbahan bakar batubara, yaitu menggunakan uap untuk menggerakkan turbin. Pertanyaannya, apakah PLTU batubara yang sudah ada dapat dikonversi menjadi PLTN? Apakah sudah ada contoh proyek konversi seperti ini di dunia? Dan apa saja konsekuensi operasional yang mungkin muncul jika konversi tersebut dilakukan? Terima kasih.

Jawaban:

Secara teknis, konversi langsung dari PLTU batubara ke PLTN tidak dapat dilakukan secara sederhana. Meskipun keduanya sama-sama memanfaatkan uap untuk memutar turbin, terdapat perbedaan mendasar dalam infrastruktur, sistem operasi, dan standar keselamatan antara keduanya. Beberapa alasan utama mengapa konversi tidak bisa dilakukan langsung antara lain:

  • Perbedaan desain reaktor dan sistem termal
  • Persyaratan keselamatan dan keamanan yang jauh lebih ketat pada PLTN, khususnya terkait konsep defense in depth dalam sistem nuklir
  • Instalasi dan infrastruktur pendukung PLTN sangat spesifik dan tidak kompatibel dengan struktur PLTU konvensional

Hingga saat ini, belum ada proyek nyata yang mengkonversi PLTU batubara eksisting secara penuh menjadi PLTN. Namun demikian, ada beberapa studi atau pendekatan "coal-to-nuclear transition" yang mengkaji potensi pemanfaatan sebagian infrastruktur non-nuklir dari PLTU lama—seperti jaringan transmisi atau lokasi tapak—untuk mendirikan PLTN baru. Konsekuensi operasional jika konversi dilakukan, bahkan secara sebagian, meliputi:

  • Kebutuhan rekayasa ulang sistem keselamatan dan pendinginan
  • Evaluasi tapak ulang dari sisi radiologis dan geoteknik
  • Pelatihan ulang SDM secara intensif untuk memenuhi standar pengoperasian reaktor
  • Penyesuaian perizinan dan pengawasan ketat oleh otoritas terkait (misalnya BAPETEN)

Dengan demikian, pendekatan konversi PLTU menjadi PLTN harus dipandang lebih sebagai rekonstruksi menyeluruh, bukan sekadar modifikasi ringan, dan memerlukan pertimbangan matang dari aspek teknis, regulatif, serta sosial. (Hana)

 

Reza Hasyim Zakarian Syah, S.Sos.

Mengingat posisi geografis Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, serta meningkatnya ancaman serangan siber terhadap infrastruktur vital di era digital, bagaimana peran konkret BKTN–PII dan GTI dalam merumuskan protokol keselamatan berlapis (dual-layer safety protocol) yang tidak hanya mengacu pada standar teknis internasional seperti yang ditetapkan oleh IAEA, tetapi juga mempertimbangkan skenario kontinjensi yang khas Indonesia? Misalnya, potensi sabotase siber, serta ancaman nuklir lintas batas (cross-border nuclear threats) di kawasan Asia Tenggara.

Jawaban:

Perumusan protokol keselamatan untuk fasilitas nuklir di Indonesia menjadi tanggung jawab Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Protokol tersebut disusun dengan mengacu pada standar dan pedoman internasional, khususnya dari International Atomic Energy Agency (IAEA), serta praktik baik (good practices) dari negara lain dalam penanganan bencana alam yang relevan. Dalam implementasinya, BAPETEN juga mempertimbangkan karakteristik alam dan potensi risiko lokal, seperti kerawanan terhadap gempa bumi, tsunami, maupun kemungkinan gangguan akibat ulah manusia. Oleh karena itu, dalam proses perumusannya, BAPETEN mengundang masukan dari berbagai pemangku kepentingan, antara lain:

  • Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait, seperti BNPB, BMKG, dan Badan Geologi
  • Lembaga penelitian seperti BRIN
  • Perguruan tinggi
  • Asosiasi atau organisasi masyarakat ilmiah/teknis tertentu

Dalam konteks ini, BKTN–PII dapat berperan memberikan masukan dan kontribusi keilmuan maupun keahlian teknis dalam rangka memperkaya perumusan protokol keselamatan yang sesuai dengan kebutuhan nasional. Sementara itu, GTI mungkin tidak terlibat langsung dalam proses perumusan protokol, namun tetap dapat berperan penting melalui penyelenggaraan pelatihan keamanan nuklir bagi para pemangku kepentingan yang terkait, baik di sektor pemerintah maupun swasta. (Khoirul Huda)

 

Reza Hasyim Zakarian Syah, S.Sos.

Mengapa hingga kini wacana mengenai pembangunan PLTN di Indonesia belum menempatkan isu legitimasi sosial dan partisipasi publik sebagai aspek utama dalam sistem keamanan nasional? Dan bagaimana peran BKTN–PII serta GTI dalam membangun narasi publik yang tidak hanya ilmiah tetapi juga populis, agar isu keamanan PLTN tidak semata menjadi jargon teknokratis, melainkan benar-benar dipahami dan dipercaya oleh masyarakat luas—khususnya dalam konteks persepsi risiko (risk perception) yang sangat sensitif terhadap istilah “nuklir”?

Jawaban:

Dalam program pengembangan PLTN, salah satu isu krusial yang terus menjadi perhatian adalah penerimaan publik. Sejumlah survei terkait penerimaan masyarakat terhadap PLTN telah dilakukan oleh BATAN (yang kini menjadi bagian dari BRIN), dan hasilnya menunjukkan bahwa lebih dari 60% responden menyatakan dapat menerima kehadiran PLTN di Indonesia.
Meskipun survei tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan partisipasi publik secara aktif, namun tetap menjadi indikator penting dalam mengukur persepsi dan kesiapan sosial terhadap program nuklir nasional.

Saat ini, BKTN–PII melalui para anggotanya telah mulai berkontribusi dengan menyusun dan menerbitkan buku-buku bertema nuklir yang disampaikan dalam narasi populis namun tetap ilmiah, dengan tujuan agar masyarakat luas dapat lebih memahami konsep PLTN secara rasional dan tidak semata-mata berdasarkan ketakutan atau asumsi negatif. Upaya ini merupakan bagian dari membangun narasi publik yang inklusif, sehingga keamanan dan manfaat PLTN tidak lagi hanya dipandang sebagai wacana teknokratik, melainkan sebagai bagian dari dialog sosial yang terbuka dan demokratis. Dalam hal ini, GTI juga dapat berperan dalam menyelenggarakan pelatihan, forum, atau kampanye edukatif yang mempertemukan ilmuwan, praktisi, dan masyarakat secara langsung dalam suasana yang komunikatif dan membangun kepercayaan. (Khoirul Huda)

 

Reza Hasyim Zakarian Syah, S.Sos.

Jika PLTN dikejar sebagai solusi transisi energi nasional menuju net-zero emission (NZE), namun di sisi lain risiko kegagalan keselamatan masih menjadi perhatian global, apakah Indonesia tidak sedang terjebak dalam paradoks antara mengejar ketahanan energi jangka panjang dan mengabaikan kapasitas respons krisis jangka pendek? Dalam konteks ini, bagaimana BKTN–PII dan GTI menyikapi dilema strategis tersebut, khususnya dari aspek desain sistem keselamatan yang tidak hanya tahan terhadap kesalahan teknis, tetapi juga terhadap human error, inkonsistensi kebijakan, dan potensi kelalaian institusional?

Jawaban:

Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi nasional jangka panjang serta mencapai target Net-Zero Emission (NZE) tahun 2060, peningkatan peran pembangkit energi bersih, termasuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), merupakan langkah yang tak terelakkan. Perlu dipahami bahwa setiap teknologi pembangkitan energi memiliki risiko inheren, termasuk kemungkinan terjadinya kecelakaan. Namun demikian, pengalaman global menunjukkan bahwa PLTN memiliki sistem keselamatan yang sangat andal, terutama untuk generasi teknologi terbaru seperti PLTN Generasi III+ dan IV. Selain teknologi yang sudah matang, pembangunan PLTN selalu diawasi secara ketat sejak proses pemilihan tapak, konstruksi, operasi hingga dekomisioning. Bahkan desain reaktor yang akan dibangun harus ditinjau terlebih dahulu kesesuaiannya oleh BAPETEN dengan ketentuan keselamatan dan terhadap tapak yang akan dipilih.

BKTN dapat berperan sebagai Technical Support Organization (TSO) yang mendukung BAPETEN dalam melakukan peninjauan dan penilaian keselamatan di setiap tahapan perizinan. Sementara itu, GTI dapat berkontribusi melalui pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan pelatihan terkait keselamatan nuklir, termasuk mitigasi risiko non-teknis seperti human error dan kesenjangan kebijakan.

Dengan pendekatan sistematis, kolaboratif, dan berbasis pada standar internasional serta kearifan lokal, Indonesia dapat menyikapi dilema strategis ini secara bijak—yakni dengan memastikan bahwa pembangunan PLTN dilakukan secara bertanggung jawab, adaptif terhadap potensi krisis, dan tetap berorientasi pada keselamatan publik. (Khoirul Huda)

Reza Hasyim Zakarian Syah, S.Sos.

Mahasiswa Pascasarjana Hubungan Internasional, Universitas Airlangga

Apabila suatu saat terjadi kebocoran parsial atau kegagalan sistem containment pada reaktor nuklir di Indonesia, siapa yang memiliki tanggung jawab atas penanganan kerusakan secara real-time (real-time damage control)?

Selain tim teknis reaktor, apakah saat ini sudah ada skema pelatihan atau sistem tanggap darurat berbasis second-layer responder (responden lapis kedua), seperti keterlibatan pihak-pihak di luar tim teknis?

Apakah BKTN-PII dan GTI sudah mulai menyusun sistem manajemen krisis yang melibatkan interoperabilitas lintas pemangku kepentingan, seperti pemadam kebakaran, rumah sakit, atau bahkan komunitas sipil di radius terdampak?

Jawaban:

Secara umum, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, pemilik atau pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab penuh atas kerugian yang timbul akibat kecelakaan nuklir, termasuk kewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada pihak ketiga yang dirugikan. Tanggung jawab ini dikecualikan jika kecelakaan disebabkan oleh faktor eksternal seperti konflik bersenjata.

Terkait dengan sistem tanggap darurat dan responden lapis kedua, memang sangat penting untuk melibatkan berbagai instansi di luar teknisi reaktor, seperti:

  • Pemadam kebakaran
  • Layanan medis dan rumah sakit
  • BPBD atau BNPB
  • Pemerintah daerah
  • Serta komunitas sipil di sekitar radius fasilitas nuklir

GTI (Global Training Indonesia) saat ini telah mulai berkontribusi dalam aspek ini melalui penyelenggaraan pelatihan Petugas Keamanan Zat Radioaktif, yang merupakan bagian dari sistem kesiapsiagaan dan respons keamanan.

Adapun penyusunan sistem manajemen krisis secara menyeluruh memerlukan kolaborasi multidisiplin dan lintas lembaga. Tugas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab GTI atau BKTN-PII, tetapi juga membutuhkan koordinasi aktif dengan pihak-pihak seperti BAPETEN, BNPB, BRIN, TNI/Polri, serta pemda dan sektor kesehatan, guna memastikan interoperabilitas yang efektif dalam skenario darurat.

(Penjelasan oleh Hana)

 

Yosephus Trianto

Selain kesiapan sumber daya manusia (SDM), bagaimana kesiapan industri-industri dalam negeri untuk mendukung operasional Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)?

Jawaban:

Keterlibatan industri nasional merupakan salah satu dari 19 infrastruktur utama yang harus dipersiapkan dalam rangka pengembangan program PLTN di Indonesia. Saat ini, sudah terdapat beberapa industri berat dalam negeri yang mampu memproduksi beberapa komponen penting untuk PLTN, salah satunya adalah pembangkit uap (steam generator). Ini menunjukkan bahwa potensi industri lokal untuk terlibat dalam ekosistem nuklir sudah mulai terbentuk. Namun demikian, keterlibatan industri nasional secara menyeluruh masih perlu ditingkatkan. Pemerintah perlu terus mendorong dan membina sektor industri agar mampu:

  • Meningkatkan kapasitas produksi
  • Memenuhi standar mutu dan keselamatan yang berlaku di industri nuklir internasional
  • Berperan aktif dalam penyediaan komponen dan jasa pendukung untuk operasional PLTN

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan industri dalam negeri dapat menjadi bagian integral dari rantai pasok nasional dalam mendukung keberhasilan program PLTN di masa depan. (Jupiter, Khoirul Huda, Hana)

 

Heru Setyabudi

Indonesia dikabarkan sedang mengembangkan PLTN berbahan bakar thorium. Apa saja keunggulan dan kelemahan dari PLTN berbahan bakar thorium dibandingkan dengan PLTN berbahan bakar uranium?

Jawaban:

PLTN berbasis thorium menggunakan Thorium-232 sebagai bahan bakarnya, sedangkan PLTN konvensional yang umum digunakan saat ini berbasis Uranium-235. Saat ini, PLTN berbahan bakar thorium masih berada dalam tahap pengembangan, dan belum ada yang dibangun atau beroperasi secara komersial di Indonesia. Meskipun demikian, thorium memiliki beberapa keunggulan yang menjanjikan:

  • Keunggulan PLTN Thorium:
    • Menghasilkan limbah radioaktif dalam jumlah lebih sedikit, sehingga berpotensi lebih ramah lingkungan.
    • Ketersediaan sumber daya thorium lebih melimpah di alam dibandingkan uranium.
    • Berpotensi lebih resisten terhadap proliferasi, karena proses pembentukan bahan yang dapat digunakan untuk senjata lebih kompleks.
  • Kelemahan PLTN Thorium:
  • Teknologi thorium belum matang dan belum teruji secara luas seperti halnya PLTN berbasis uranium.
  • Masih diperlukan riset dan pengembangan jangka panjang untuk menjadikannya layak secara teknis dan ekonomis.

Sementara itu, PLTN berbasis uranium merupakan jenis yang telah digunakan secara luas di seluruh dunia dengan teknologi yang:

  • Keunggulan PLTN Uranium:
    • Teknologinya sudah mapan, terbukti, dan tersedia secara komersial.
    • Didukung oleh ekosistem industri dan regulasi yang telah terbentuk secara global.
  • Kelemahan PLTN Uranium:
    • Menghasilkan limbah radioaktif dalam jumlah lebih banyak, termasuk Plutonium, yang memiliki potensi disalahgunakan untuk keperluan non-damai jika tidak diawasi dengan baik.

Namun demikian, isu keamanan terkait potensi penyalahgunaan plutonium di PLTN uranium telah diantisipasi secara serius. Di Indonesia, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) bersama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) melakukan pengawasan ketat terhadap semua pemanfaatan bahan nuklir untuk menjamin keamanan dan mencegah penyimpangan. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir akan isu tersebut selama seluruh sistem diawasi dan dikendalikan dengan baik. (Jupiter)

 

Chika Rosyidah, S.I.Kom (Jurnalis Lepas)

Bagaimana langkah yang dapat dilakukan untuk mendorong adanya political will dari pemerintah dalam menyegerakan regulasi sebagai langkah awal pembangunan PLTN di Indonesia? Mengingat bahwa pembangunan PLTN membutuhkan waktu yang tidak singkat, semakin lama ditunda, maka semakin tertunda pula transformasi Indonesia menuju pemanfaatan energi bersih dan berkelanjutan.

Jawaban:

Regulasi yang mengatur pembangunan PLTN di Indonesia sebenarnya sudah tersedia dan cukup lengkap. Beberapa regulasi utama tersebut meliputi:

  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
  • Peraturan Pemerintah yang mengatur aspek keselamatan dan mekanisme perizinan
  • Peraturan teknis BAPETEN, yang mencakup persyaratan desain, evaluasi tapak, hingga prosedur operasi PLTN

Justru, yang menjadi kunci percepatan pembangunan PLTN saat ini bukan terletak pada kekurangan regulasi, melainkan pada keputusan politik (political will). Dalam hal ini, sebenarnya sudah terdapat kemajuan signifikan, yang ditandai dengan dimasukkannya energi nuklir ke dalam sejumlah dokumen perencanaan strategis nasional, antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045
  • Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor: 85.K/TL.01/MEM.L/2025
  • Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034

Selain itu, saat ini sedang dibahas pembentukan suatu organisasi khusus bernama Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO), yang akan bertanggung jawab dalam mengimplementasikan program pembangunan PLTN secara menyeluruh. (Khoirul Huda)

 

Doni Priambodo (Tenaga Ahli Kadin Indonesia – Bidang Percepatan Ketahanan Energi Nasional)

Jika tenaga nuklir benar-benar diterapkan di Indonesia, bagaimana peluang bagi pelaku usaha untuk berkontribusi dalam ekosistem energi nuklir? Apakah regulasi dan tata kelola yang ada sudah siap untuk mendukung iklim usaha dan investasi dalam pembangunan PLTN di Indonesia?

Jawaban:

Bagi pelaku usaha dan industri, penerapan tenaga nuklir di Indonesia akan membuka peluang besar untuk terlibat dalam berbagai aspek ekosistem energi nuklir. Peluang tersebut mencakup, antara lain:

  • Pengadaan komponen PLTN
  • Jasa konstruksi dan teknis
  • Dukungan logistik dan rantai pasok
  • Penyediaan pelatihan dan pengembangan SDM

Melihat besarnya potensi keterlibatan sektor swasta, pemerintah—melalui BAPETEN dan kementerian/lembaga terkait—diharapkan akan terus memperkuat regulasi dan tata kelola untuk menciptakan iklim investasi yang aman, kondusif, dan transparan. Langkah ini juga sejalan dengan agenda percepatan transisi energi nasional, di mana energi nuklir diposisikan sebagai salah satu pilar penting menuju ketahanan dan keberlanjutan energi.

Kedepannya, kolaborasi antara sektor publik dan swasta akan menjadi kunci sukses implementasi PLTN di Indonesia, terutama dalam aspek komersialisasi dan keberlanjutan proyek. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan komitmen lintas sektor, ekosistem energi nuklir nasional berpotensi tumbuh kuat dan mandiri. (Hana)

 

Tarryn Meka

Terima kasih atas pemaparannya. Izin bertanya kepada seluruh narasumber, sari sisi project development, sampai pada tahap mana persiapan Indonesia dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN)? Apakah Feasibility Study (FS) dan/atau Concept Selection sudah pernah dilakukan?

Jawaban:

Indonesia telah memulai langkah-langkah awal dalam pengembangan PLTN dengan mempersiapkan 19 infrastruktur utama sesuai pedoman International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk fase pertama pembangunan PLTN. Meskipun demikian, masih terdapat tiga elemen yang belum sepenuhnya memenuhi standar, sehingga membutuhkan perhatian dan penguatan lebih lanjut.

Dalam hal studi kelayakan, Indonesia telah:

  • Melaksanakan Pre-Feasibility Study (Pre-FS) dan Feasibility Study (FS) untuk rencana pembangunan PLTN di dua lokasi:
    • Ujung Lemahabang, Jepara – Jawa Tengah
    • Bangka Barat dan Bangka Selatan – Kepulauan Bangka Belitung
  • Saat ini, sedang dilakukan kegiatan evaluasi tapak (site evaluation) di Pantai Gosong, Kalimantan Barat, sebagai bagian dari penilaian lokasi potensial pembangunan PLTN di masa depan.
  • Selain itu, telah diidentifikasi sebanyak 28 tapak potensial di seluruh Indonesia yang dinilai layak untuk dikaji lebih lanjut sebagai lokasi PLTN.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia telah berada pada tahap awal yang cukup strategis dalam perencanaan pengembangan PLTN, meskipun masih diperlukan konsistensi kebijakan, penguatan kelembagaan, serta keterlibatan publik dan swasta agar proyek ini dapat berlanjut hingga tahap implementasi. (Jupiter)

 

Hermawan Puji Yuwana

Terkait dengan aspek sumber daya manusia, bagaimana pandangan para narasumber mengenai peran bonus demografi yang sering digaungkan oleh pemerintah dalam mendukung pembangunan dan pengoperasian PLTN di Indonesia?

Jawaban:

Bonus demografi merupakan salah satu modal strategis bagi pembangunan dan keberlanjutan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Kondisi ini mencerminkan bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk usia produktif yang besar, yang secara potensial dapat menjadi tenaga kerja muda, energik, dan siap dilatih untuk memasuki sektor teknologi tinggi seperti nuklir.

Namun demikian, bonus demografi tidak akan otomatis menjadi keunggulan apabila tidak diiringi dengan pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan yang memadai. Oleh karena itu, peran pemerintah menjadi sangat penting dalam:

  • Menyediakan kurikulum pendidikan tinggi dan vokasi yang relevan dengan teknologi nuklir
  • Mendorong pembukaan program pelatihan teknis dan sertifikasi yang berstandar internasional
  • Membangun kolaborasi antara dunia pendidikan, industri, dan lembaga riset
  • Menyiapkan pipeline SDM yang tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga memiliki wawasan keselamatan dan tanggung jawab sosial

Dengan pemanfaatan bonus demografi yang dikelola dengan baik, Indonesia akan memiliki SDM yang kompeten dan berkelanjutan untuk mendukung pengembangan PLTN, baik dari sisi pembangunan, pengoperasian, hingga pengawasan dan inovasi di masa depan. (Hana)

 

Herry Widjanarko 

Kepada Bapak Khoirul Huda, saya ingin menanggapi bahwa setelah PLTN beroperasi, kebutuhan SDM seharusnya menurun dan tidak sebesar yang diperkirakan, karena dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), operasional dapat dijalankan oleh hanya beberapa orang saja.

Jawaban:

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) memang dapat membantu dalam aspek-aspek operasional yang bersifat rutin dan kontinu, seperti pemantauan sistem atau pengolahan data sensor secara real-time. Namun demikian, AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran tenaga ahli manusia. Teknisi dan operator yang berkompeten dan tersertifikasi tetap akan sangat dibutuhkan, terutama dalam hal:

  • Analisis data kompleks dan pengambilan keputusan
  • Evaluasi kondisi tidak terduga atau anomali sistem
  • Penanganan darurat dan implementasi prosedur keselamatan

Selain itu, sistem keselamatan nuklir mengharuskan adanya redudansi dan verifikasi manusia pada berbagai level, sebagai bagian dari prinsip defense in depth. Oleh karena itu, walaupun teknologi AI akan sangat membantu efisiensi kerja, jumlah dan kualitas SDM tetap menjadi elemen kunci dalam pengoperasian PLTN. (Hana)

 

Yudho Triwibowo Suryo (Politeknik Nuklir)

Dalam konteks kesiapan sumber daya manusia, apakah diperlukan organisasi di tingkat mahasiswa yang secara khusus bertujuan untuk memperluas informasi dan literasi mengenai realisasi PLTN di Indonesia?

Jawaban:

Pembentukan organisasi mahasiswa yang berfokus pada isu-isu nuklir, termasuk realisasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), justru merupakan langkah yang strategis dan positif. Inisiatif semacam ini memiliki berbagai manfaat nyata, antara lain:

  • Berperan sebagai agen literasi publik, yang membantu menyebarkan informasi yang benar dan ilmiah mengenai nuklir
  • Mendorong penerimaan sosial terhadap PLTN melalui pendekatan edukatif yang dekat dengan masyarakat
  • Menjembatani komunikasi antara komunitas akademik, masyarakat umum, dan bahkan pembuat kebijakan

Organisasi mahasiswa dapat berkontribusi dalam membentuk opini publik yang berbasis ilmu pengetahuan, sekaligus menjadi mitra kritis dalam menyuarakan kebutuhan edukasi yang lebih luas tentang manfaat dan keamanan PLTN.

Tentu saja, agar fungsi ini optimal, pihak pembuat kebijakan juga perlu membuka ruang komunikasi yang lebih inklusif terhadap suara dan aspirasi mahasiswa, sebagai bagian dari ekosistem pengambilan keputusan yang responsif dan partisipatif. (Hana)

Yudho Triwibowo Suryo (Politeknik Nuklir)

Apabila waktu perencanaan dan konstruksi PLTN memakan waktu 10–15 tahun, kira-kira kapan PLTN pertama di Indonesia diperkirakan dapat mulai beroperasi?

Jawaban:

Waktu perencanaan dan konstruksi selama 10–15 tahun memang berlaku untuk pembangunan PLTN konvensional skala besar. Namun, jika yang dipilih adalah reaktor modular atau Small Modular Reactor (SMR), maka waktu konstruksi dan persiapannya dapat jauh lebih singkat. Merujuk pada dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang telah dicanangkan oleh PLN dan disahkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PLTN komersial pertama di Indonesia ditargetkan dapat mulai beroperasi pada tahun 2032. Target ini memungkinkan untuk dicapai apabila Indonesia memilih teknologi SMR, yang dirancang untuk lebih cepat dalam konstruksi, lebih fleksibel dalam penempatan, dan tetap memenuhi standar keselamatan tinggi. (Hana, Khoirul Huda)

Raisa Akmalie

Apakah saat ini terjadi penurunan atau kesulitan dalam regenerasi sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan Indonesia untuk pembangunan dan pengoperasian PLTN? Pertanyaan ini berkaitan dengan sifat proyek PLTN yang berkelanjutan dan memerlukan SDM lintas generasi. Sejauh mana minat generasi insinyur muda Indonesia terhadap bidang ini?

Jawaban:

Dalam hal regenerasi SDM untuk sektor nuklir, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah strategis, salah satunya melalui pembukaan program studi Teknik Nuklir, baik di jenjang sarjana maupun sarjana terapan (UGM dan STTN). Selain itu, minat mahasiswa dari berbagai latar belakang teknik dan sains juga cukup tinggi terhadap pengembangan teknologi nuklir, khususnya yang berkaitan dengan aplikasi energi. Banyak di antara mereka yang secara aktif mengikuti riset dan kegiatan ilmiah yang berfokus pada isu energi nuklir, meskipun tidak berasal dari jurusan Teknik Nuklir secara langsung.

Upaya ini menunjukkan bahwa regenerasi SDM nuklir di Indonesia masih berjalan, meski tetap memerlukan dukungan lebih lanjut melalui:

  • Peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan
  • Pemberian beasiswa atau insentif untuk bidang nuklir
  • Peluang magang dan kolaborasi industri yang mendorong transfer pengetahuan generasi ke generasi

Dengan demikian, generasi insinyur muda Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari pengembangan PLTN, asalkan terus difasilitasi dan diberi ruang untuk berkembang. (Penjelasan oleh Hana)

 

Arthur Gerald Piet Koene

Mohon maaf saya baru bisa bergabung. Terkait dengan pembangunan reaktor nuklir di Indonesia, saya ingin bertanya:

  1. Apakah saat ini arah pengembangan lebih condong kepada penggunaan Small Modular Reactor (SMR), atau masih dalam tahap pertimbangan antara SMR dan reaktor besar seperti PWR atau BWR?
  2. Apakah dalam grand design jangka panjang (hingga 100 tahun ke depan) terdapat rencana pengembangan manufaktur bahan bakar nuklir, termasuk pengolahan uranium atau thorium, serta pengolahan ulang bahan bakar bekas (seperti konversi menjadi MOX fuel)?
  3. Jika hal tersebut menjadi pertimbangan, maka tentunya akan diperlukan sumber daya manusia dalam jumlah besar dan pembangunan PLTN akan sekaligus menjadi grand design kedua dalam pembangunan SDM. Bagaimana pandangan Bapak terkait hal ini?

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang sangat baik dan komprehensif, Bapak Arthur.

  1. Pilihan jenis reaktor, baik itu SMR (Small Modular Reactor) maupun reaktor besar seperti PWR (Pressurized Water Reactor) atau BWR (Boiling Water Reactor), saat ini masih terbuka dan belum ditetapkan secara final. Penentuannya akan sangat bergantung pada beberapa faktor, seperti:
    • Vendor yang masuk dan menawarkan desain
    • Kesesuaian desain dengan ketentuan keselamatan nasional (regulasi BAPETEN dan standar internasional)
    • Skema pendanaan dan pembiayaan yang paling realistis dan layak untuk Indonesia
  2. Dalam konteks perencanaan jangka panjang (grand design), tentu idealnya Indonesia dapat mengembangkan industri bahan bakar nuklir sendiri, termasuk proses manufaktur bahan bakar. Namun, untuk pengayaan uranium dan olah ulang (reprocessing) bahan bakar bekas, saat ini masih belum memungkinkan dikembangkan secara domestik, karena isu tersebut merupakan bagian dari rezim keamanan global yang sangat sensitif, terutama terkait non-proliferasi senjata nuklir.
  3. Terkait kebutuhan sumber daya manusia (SDM), benar bahwa apabila Indonesia mengarah pada integrasi penuh dalam siklus bahan bakar nuklir, maka akan dibutuhkan SDM yang sangat besar dan sangat terspesialisasi. Oleh karena itu, sejak awal pengembangan PLTN, Indonesia memang perlu menyusun strategi pengembangan SDM jangka panjang sebagai bagian dari national nuclear roadmap, termasuk kerja sama pendidikan, pelatihan, dan penguatan kapasitas kelembagaan.

Upaya ini tidak hanya mendukung keberhasilan operasional PLTN, tetapi juga membuka jalan bagi kemandirian teknologi dan ketahanan energi nasional di masa depan.
(Penjelasan oleh Dr. Ir. Khoirul Huda)

 

Lely Frilia Melisa Dwi Nanda

  • Small Modular Reactor (SMR) memiliki skala yang lebih kecil dibandingkan PLTN konvensional dan dinilai memiliki tingkat keselamatan yang lebih tinggi, terutama karena penerapan prinsip Defence in Depth (DiD). Namun, hingga saat ini SMR masih berada dalam tahap pengembangan. Data IAEA per 2024 menunjukkan bahwa baru 4 dari lebih dari 50 desain SMR yang telah beroperasi secara komersial.
    Bagaimana kesiapan kebijakan Indonesia dalam menghadapi rendahnya tingkat kesiapan teknologi (Technology Readiness Level / TRL) dari SMR ini? Mengingat bahwa regulasi teknis, bahkan pedoman dari IAEA, masih berlandaskan pada PLTN konvensional, dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2014 mensyaratkan teknologi yang sudah komersial di negara lain.
  • Tadi dijelaskan bahwa bila sudah ada regulatory body dan operating organization, maka keberadaan NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization) bisa jadi tidak mutlak diperlukan.
    Dalam konteks persiapan pembangunan PLTN pertama di Indonesia saat ini, apakah NEPIO masih diperlukan, dan sejauh mana urgensinya? Mengingat kita sudah memiliki BAPETEN sebagai regulator dan badan usaha yang akan menjadi operator. Selain itu, sejak tim pembentuk NEPIO menyelesaikan tugasnya pada tahun 2023, hingga kini pemerintah belum menetapkan NEPIO secara formal.

Jawaban:

Saat ini memang teknologi SMR (Small Modular Reactor) tengah menjadi sorotan dan seolah lebih diunggulkan dibandingkan PLTN konvensional skala besar seperti PWR dan BWR. Namun demikian, pilihan teknologi masih terbuka. Bila yang lebih dahulu ditawarkan dan feasible untuk dibangun adalah jenis PLTN konvensional, maka regulasi teknisnya sudah tersedia dan siap digunakan.

Namun, jika teknologi SMR yang terlebih dahulu masuk, maka perlu dilakukan penyusunan regulasi baru atau modifikasi terhadap regulasi yang ada, mengingat karakteristik teknis SMR berbeda dan regulasi saat ini masih dominan berbasis pada PLTN konvensional. Ini juga menjadi tantangan karena regulasi nasional, termasuk PP No. 2 Tahun 2014, mensyaratkan bahwa teknologi yang digunakan harus telah komersial di negara lain, sementara sebagian besar SMR saat ini masih berada pada tahap demonstrasi.

Terkait pertanyaan kedua, NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization) memang dirancang untuk mempercepat dan mengoordinasikan program pengembangan PLTN. Fungsinya antara lain:

  • Mengidentifikasi regulasi yang diperlukan
  • Merumuskan sistem pengawasan
  • Mengkoordinasikan pembangunan infrastruktur pendukung yang belum tersedia

Di Indonesia, dari 19 infrastruktur PLTN yang direkomendasikan IAEA, sekitar 16 di antaranya sudah tersedia. Oleh karena itu, urgensi pembentukan NEPIO menjadi relatif:

  • NEPIO masih diperlukan untuk mendorong percepatan implementasi program PLTN, terutama dalam tahap awal
  • Namun, jika proses pembentukannya justru memakan waktu lama, maka keberadaan NEPIO berpotensi memperlambat pelaksanaan program PLTN itu sendiri

Dengan kata lain, keberadaan NEPIO sebaiknya bersifat strategis dan adaptif, bukan administratif semata.
(Penjelasan oleh Dr. Ir. Khoirul Huda)

 

Oktariansyah Kementerian Pekerjaan Umum

Kepada Narasumber I, Bapak Arnold:

  1. Apakah potensi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) cukup besar jika dikaitkan dengan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia, dan bagaimana urgensinya dibandingkan dengan potensi pembangkit listrik dari sumber energi lainnya?
  2. Terkait dengan aspek pembiayaan, apakah pembangunan PLTN nantinya akan mampu mencapai atau memenuhi Break Even Point (BEP)?
  3. Mengingat ini merupakan pembangunan reaktor nuklir pertama di Indonesia, bagaimana cara memastikan keberhasilan proyek PLTN tersebut? Apakah sebaiknya dimulai dengan pembangkit berkapasitas kecil, menengah, atau langsung besar?

Jawaban:

Jika berbicara mengenai sumber daya alam berupa uranium, memang benar bahwa cadangannya di Indonesia tidak sebesar sumber daya energi lain seperti batu bara atau panas bumi. Namun demikian, efisiensi energi dari bahan bakar nuklir jauh lebih tinggi, sehingga kebutuhan bahan bakarnya relatif kecil dibandingkan jenis pembangkit lain.

Terkait dengan Break Even Point (BEP) atau titik impas secara ekonomi, hal ini tentu menjadi pertimbangan utama dalam komersialisasi PLTN. Studi kelayakan yang menyeluruh akan mempertimbangkan skema pembiayaan, harga listrik jual, serta efisiensi dan usia operasional PLTN.

Untuk menjamin tingkat keberhasilan pembangunan PLTN pertama, pendekatan yang dapat dipertimbangkan adalah memulai dari pembangkit skala kecil atau menengah, seperti Small Modular Reactor (SMR), yang relatif lebih fleksibel dan memiliki waktu pembangunan yang lebih singkat. Namun, semua itu tetap tergantung pada kesiapan regulasi, kapasitas nasional, serta mitra teknologi yang dipilih.

(Penjelasan oleh Bapak Jupiter)

Guntur Sodikin

Izin bertanya. Saya sangat tertarik pada isu keselamatan dan keamanan PLTN, dan saat ini saya sedang meneliti topik tersebut untuk disertasi saya. Jika saya ingin menjalin kerja sama atau berdiskusi lebih lanjut dengan para narasumber, apakah memungkinkan untuk menghubungi mereka secara langsung di kemudian hari?

Jawaban:

Tentu sangat memungkinkan, Pak. Untuk keperluan diskusi atau kerja sama terkait penelitian keselamatan PLTN, Bapak bisa menghubungi para peneliti di BRIN, khususnya yang berada di Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN). Mereka terbuka untuk berdiskusi dan sangat mendukung kegiatan penelitian, khususnya di bidang keselamatan PLTN. Semoga sukses untuk disertasinya! 😊
(Hana)

 

Sri Suatussa’adah

Selamat siang, saya Sri Suatussa’adah. Izin bertanya, di luar aspek K3 yang ditelaah dari sudut pandang teknis dan sumber daya manusia (SDM), bagaimana kesiapan pembangunan PLTN dalam mendukung livelihood security, khususnya bagi masyarakat yang berpotensi terdampak? Terima kasih 🙂

Jawaban:

Pertanyaan Ibu sangat penting, karena memang pembangunan PLTN tidak hanya berbicara soal teknis dan keselamatan kerja, tetapi juga harus mempertimbangkan perlindungan dan penguatan mata pencaharian masyarakat (livelihood security), terutama mereka yang berada di wilayah terdampak.

Pendekatan yang ideal mencakup:

  • Kajian sosial yang menyeluruh terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat
  • Pelibatan publik secara aktif sejak tahap perencanaan
  • Program kompensasi yang adil
  • Edukasi masyarakat mengenai energi nuklir, termasuk aspek keselamatan dan keamanannya
  • Serta yang tak kalah penting, pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar lokasi proyek, agar mereka turut merasakan manfaat dari keberadaan PLTN

Dengan pendekatan ini, diharapkan kehadiran PLTN tidak hanya aman secara teknis, tetapi juga mendorong kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan hidup di sekitarnya.
(Hana)

 

Arief Budiyanto

Beberapa negara maju di Eropa dan Asia telah menutup operasional Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mereka, termasuk Taiwan, Jerman, Spanyol, dan Italia. Taiwan resmi menutup reaktor nuklir terakhirnya pada 18 Mei 2025, menandai berakhirnya empat dekade penggunaan energi nuklir di negara tersebut. Jerman juga telah menutup seluruh PLTN-nya pada 15 April 2023, sementara Spanyol berkomitmen akan menutup seluruh PLTN pada tahun 2035. Negara lain seperti Italia, Kazakhstan, dan Lithuania juga telah menonaktifkan PLTN mereka.

Alasan utama di balik penutupan tersebut diklaim karena kekhawatiran terhadap keselamatan dan dampak lingkungan, serta keinginan untuk beralih ke sumber energi yang lebih berkelanjutan.

Bagaimana pandangan Bapak/Ibu Narasumber terhadap hal ini?

Jawaban:

Penutupan PLTN di beberapa negara umumnya lebih didasarkan pada keputusan politik, bukan semata-mata karena pertimbangan teknis atau keselamatan. Isu keselamatan memang sering dijadikan alasan yang paling mudah untuk disampaikan ke publik, terutama oleh kelompok-kelompok anti-nuklir yang memiliki pengaruh dalam lingkaran pengambil kebijakan.

Namun, apabila keselamatan benar-benar menjadi alasan utama, maka logikanya PLTN tidak akan dibangun sejak awal. Atau, jika kekhawatiran baru muncul belakangan, maka proses penutupannya semestinya dilakukan segera setelah kekhawatiran itu muncul—bukan dijalankan bertahap selama puluhan tahun.

Dengan kata lain, banyak faktor non-teknis yang turut memengaruhi kebijakan energi suatu negara, termasuk tekanan politik, opini publik, serta arah strategi energi nasional.
(K. Huda)

 

Luqman Satria Pradana

Magister Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada

Kepada Bapak Khoirul Huda dan Bapak Arnold,
Seperti yang telah dipaparkan, saat ini Indonesia masih bergantung pada vendor luar negeri dalam pembangunan PLTN. Bagaimana pandangan Bapak-Bapak terkait strategi pengembangan Small Modular Reactor (SMR)—khususnya mikroreaktor berdaya 10–20 MWt—yang sepenuhnya didesain, dikembangkan, dan diproduksi oleh dalam negeri untuk diterapkan di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal)?

Menurut pandangan Bapak, dalam kurun waktu berapa lama kira-kira perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang mikroreaktor dapat merealisasikan hal tersebut? Sebab, sejauh ini yang saya ketahui, rencana pengoperasian SMR di Indonesia dalam 10 tahun ke depan masih melibatkan desain dan teknologi dari vendor luar.

Jawaban:

Betul sekali, Saudara Luqman. Hingga saat ini, pembangunan reaktor komersial di Indonesia memang masih bergantung pada vendor luar negeri, mengingat desain reaktor dalam negeri masih dalam tahap konseptual dan belum mencapai tahap prototipe maupun komersialisasi.

Namun demikian, Indonesia melalui BRIN (sebelumnya BATAN) sebenarnya sudah memiliki dua desain mikroreaktor, yaitu:

  • Reaktor Daya Eksperimental (RDE-10) berdaya 10 MW
  • Pembangkit Listrik dan Uap Panas Industri (PeLUIT-40) berdaya 40 MW

Keduanya saat ini masih dalam tahap desain awal dan belum dibangun secara fisik. Selain itu, kapasitas dayanya relatif kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan sistem ketenagalistrikan nasional.

Untuk kebutuhan komersial, terutama dalam rangka mendukung sistem ketenagalistrikan nasional dan mempercepat transisi energi, Indonesia saat ini masih lebih mengandalkan reaktor berkapasitas besar dengan desain yang telah terbukti (proven technology). Oleh karena itu, meskipun pengembangan mikroreaktor dalam negeri sangat potensial untuk masa depan—terutama untuk wilayah 3T—namun implementasinya masih memerlukan waktu, sumber daya, dan kebijakan strategis yang berkelanjutan.
(K. Huda)

 

FARISAL, S.HI Detasemen Gegana, Satbrimob Polda Sulawesi Tenggara

Terkait dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), saya ingin bertanya mengenai tiga aspek utama yang menjadi perhatian: keselamatan, keamanan, dan sumber daya manusia (SDM). Bagaimana ketiganya dikaji dan dijadikan fokus dalam perencanaan pembangunan PLTN di Indonesia?

Jawaban:

Benar sekali, Bapak Farisal. Dalam webinar kali ini, pembahasan memang difokuskan pada tiga aspek utama dalam pembangunan PLTN, yaitu keselamatan, keamanan, dan sumber daya manusia.

Tentu saja, aspek-aspek lain yang juga penting—seperti manajemen proyek, pendanaan atau pembiayaan, serta aspek teknis lainnya—belum sempat dibahas secara mendalam dalam sesi ini. Harapannya, topik-topik tersebut dapat dibahas lebih lanjut di kesempatan lain agar pembahasan mengenai PLTN dapat semakin komprehensif.
(K. Huda)

 

FARISAL, S.HI

Detasemen Gegana, Satbrimob Polda Sulawesi Tenggara

Sejauh mana kesiapan sistem manajemen risiko bencana alam, seperti gempa bumi atau tsunami, dalam menjamin keselamatan PLTN? Bagaimana skenario penanganan kecelakaan nuklir disiapkan? Apakah Indonesia sudah memiliki kapasitas tanggap darurat nuklir yang memadai? Selain itu, bagaimana upaya menjaga kerahasiaan data sensitif terkait PLTN dari ancaman serangan siber atau kebocoran informasi?

Jawaban:

Saat ini, Indonesia telah memiliki tiga reaktor riset, dan masing-masing reaktor tersebut sudah diwajibkan menyusun Rencana Tanggap Darurat sebagai bagian dari persyaratan perizinan.

Skenario kecelakaan yang digunakan dalam perencanaan tanggap darurat adalah skenario kecelakaan parah (severe accident). Sementara itu, pengembangan kapasitas tanggap darurat nuklir nasional terus dilakukan, termasuk aspek pelatihan, prosedur, serta koordinasi antarinstansi.

Terkait dengan keamanan informasi, perlindungan terhadap data sensitif, termasuk ancaman serangan digital, menjadi bagian penting dalam sistem keamanan PLTN dan akan diatur secara ketat sesuai dengan standar nasional dan internasional.
(Pak Jupiter)

 

GAGAN – PT. Tramakarya Konsultan

Izin bertanya, sejauh mana dukungan pemerintah dalam pembangunan PLTN di Indonesia?

Jawaban:

Dukungan pemerintah terhadap pembangunan PLTN saat ini cukup jelas. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah telah memasukkan PLTN sebagai salah satu sumber energi dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang disusun oleh PLN. Hal ini juga ditegaskan dalam konferensi pers yang disampaikan oleh PLN pada 26 Mei 2025.

(Hana)

 

Ir. Eddyson MFK, IPM, ASEAN Eng, ACME

(Eddyson MF Kowal)

Menanggapi pertanyaan sebelumnya terkait sejumlah negara yang telah menutup PLTN-nya, mungkin memang karena masa operasionalnya telah habis. Jika masa hidup PLTN bisa mencapai 100 tahun, maka sejak tahun 2025 ini, sudah seharusnya dilakukan sosialisasi secara luas mengenai untung-rugi serta aspek keamanan PLTN kepada masyarakat.

Jawaban:

Benar sekali, sebagaimana pembangkit listrik lainnya, PLTN juga memiliki masa operasi terbatas atau "umur teknis". 😊👍🏻
Terima kasih atas masukannya terkait pentingnya sosialisasi mengenai untung dan rugi pembangunan PLTN.

Sebenarnya, upaya sosialisasi mengenai PLTN sudah dilakukan sejak lama, namun memang kemungkinan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, konten sosialisasi yang disampaikan mungkin masih bersifat umum dan belum secara eksplisit menjelaskan perbandingan untung-rugi dari pembangunan dan pengoperasian PLTN.
(Dr. Ir. Khoirul Huda)

 

Muhammad Fikri

Izin bertanya kepada para pemateri. Dengan meningkatnya dorongan untuk mencapai burnup yang lebih tinggi serta pengembangan bahan bakar tahan kecelakaan (Accident-Tolerant Fuels/ATF) pada reaktor tipe PWR, saya penasaran: bagaimana kita dapat menyeimbangkan keuntungan termal dari bahan bakar seperti U₃Si₂ dan UN, dengan tantangan dalam fabrikasi dan proses perizinan yang masih cukup besar—terutama jika bahan bakar tersebut dipasangkan dengan cladding canggih seperti SiC atau FeCrAl?
Menurut Bapak/Ibu, jalur mana yang paling realistis untuk diterapkan di Indonesia dalam jangka menengah?

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat teknis.

Perlu dipahami bahwa upaya meningkatkan burnup bahan bakar nuklir (BBN) dan meningkatkan ketahanan BBN terhadap kecelakaan merupakan dua tujuan yang cenderung bertolak belakang. Umumnya, semakin tinggi burnup, integritas struktur BBN akan semakin menurun akibat:

  • Perubahan mikrostruktur,
  • Akumulasi produk fisi,
  • Potensi pembengkakan atau degradasi material.

Sementara itu, ketahanan terhadap kecelakaan menuntut agar BBN dapat:

  • Bertahan pada suhu tinggi ekstrem,
  • Tahan terhadap oksidasi cepat (misalnya dari reaksi uap-zirkonium),
  • Meminimalkan pembentukan hidrogen, yang bisa memperburuk kondisi kecelakaan.

Untuk menjembatani kedua tujuan tersebut, tentu dibutuhkan riset yang mendalam dan strategi yang tepat dalam pengembangan ATF, khususnya untuk reaktor berpendingin air (water-cooled reactors). Salah satu pendekatan yang direkomendasikan adalah:

  • Memodifikasi pelapis zirkonium dengan material yang lebih tahan panas dan oksidasi, seperti:
    • Silikon karbida (SiC): tahan terhadap oksidasi dan suhu tinggi, titik leleh sangat tinggi.
    • Pelapisan kromium (Cr-coating): mengurangi reaksi uap-zirkonium dan bersifat lebih stabil dalam kondisi transien.

Terkait Indonesia, jalur yang realistis sangat tergantung pada:

  • Jenis reaktor yang akan dipilih dan dibangun—karena setiap jenis reaktor memiliki kebutuhan bahan bakar dan konfigurasi BBN yang berbeda.
  • Kemampuan riset dan industri lokal, termasuk kesiapan fasilitas fabrikasi dan regulasi pendukung.

Jadi, langkah awal yang penting adalah menentukan desain reaktor yang akan digunakan, baru kemudian menyelaraskan pengembangan ATF-nya.
(Dr. Ir. Khoirul Huda)

 
Posted : 30/06/2025 12:04 pm

Leave a reply

Author Name

Author Email

Title *

 
Preview 0 Revisions Saved
Share: